Tim Al-Balagh
Persoalan
mengenai bagaimana alam semesta yang tanpa cacat ini mula-mula terbentuk, ke
mana tujuannya, dan bagaimana cara kerja hukum-hukum yang menjaga keteraturan
dan keseimbangan, sejak dulu merupakan topik yang menarik. Pendapat kaum
materialis yang berlaku selama beberapa abad hingga awal abad ke-20 menyatakan,
bahwa alam semesta memiliki dimensi tak terbatas, tidak memiliki awal, dan akan
tetap ada untuk selamanya. Menurut pandangan ini, yang disebut “model alam
semesta yang statis”, alam semesta tidak memiliki awal maupun akhir. Dengan
memberikan dasar bagi filosofi materialis, pandangan ini menyangkal adanya Sang
Pencipta, dengan menyatakan bahwa alam semesta ini adalah kumpulan materi yang
konstan, stabil, dan tidak berubah-ubah.
Ayat al-Qur’an dan Alam Semesta
Dalam Surat al-Isra’ ayat ke-88, Allah menunjukkan keagungan al-Qur’an: “Katakanlah:
‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran
ini; niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.’” (QS. Al Israa’,
17: 88)
Dalam al-Qur’an, terdapat banyak bukti bahwa al-Qur’an berasal dari Allah, bahwa umat
manusia tidak akan pernah mampu membuat sesuatu yang menyerupainya. Salah satu
bukti ini adalah ayat-ayat (tanda-tanda) al-Qur’an yang terdapat di alam
semesta.
Sesuai dengan ayat “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilaat,
41: 53), banyak informasi yang ada dalam al-Qur’an ini sesuai dengan yang ada
di dunia eksternal. Allah-lah yang telah menciptakan alam semesta dan karenanya
memiliki pengetahuan mengenai semua itu. Allah juga yang telah menurunkan
al-Qur’an. Bagi orang-orang beriman yang teliti, sungguh-sungguh, dan arif,
banyak sekali informasi dan analisis dalam al-Qur’an yang dapat mereka lihat
dan pelajari.
Meskipun
demikian, perlu diingat bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan. Tujuan
diturunkannya al-Qur’an adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat-ayat
berikut:
“Alif
lam ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan
manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan Yang
Mahakuasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim, 14: 1) !
“…
untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al Mu’min,
40: 54) !
Singkatnya,
Allah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang beriman. Al-Qur’an
menjelaskan kepada manusia cara menjadi hamba Allah dan mencari ridha-Nya.
Betapapun,
al-Qur’an juga memberi informasi dasar mengenai beberapa hal seperti penciptaan
alam semesta, kelahiran manusia, struktur atmosfer, dan keseimbangan di langit
dan di bumi. Kenyataan bahwa informasi dalam al-Qur’an tersebut sesuai dengan
temuan terbaru ilmu pengetahuan modern adalah hal penting, karena kesesuaian
ini menegaskan bahwa al-Qur’an adalah “firman Allah”. Menurut ayat “Maka
apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”
(QS. An-Nisaa’, 4: 82), terdapat keserasian yang luar biasa antara pernyataan
di dalam al-Qur’an dan dunia eksternal.
Pada
halaman-halaman berikut kita akan membahas kesamaan yang luar biasa antara
informasi tentang alam semesta yang ada dalam al-Qur’an dan dalam ilmu
pengetahuan.
Teori Dentuman Besar (Big Bang) dan Ajarannya
Persoalan
mengenai bagaimana alam semesta yang tanpa cacat ini mula-mula terbentuk, ke
mana tujuannya, dan bagaimana cara kerja hukum-hukum yang menjaga keteraturan
dan keseimbangan, sejak dulu merupakan topik yang menarik.
Pendapat
kaum materialis yang berlaku selama beberapa abad hingga awal abad ke-20
menyatakan, bahwa alam semesta memiliki dimensi tak terbatas, tidak memiliki
awal, dan akan tetap ada untuk selamanya. Menurut pandangan ini, yang disebut
“model alam semesta yang statis”, alam semesta tidak memiliki awal maupun
akhir.
Dengan
memberikan dasar bagi filosofi materialis, pandangan ini menyangkal adanya Sang
Pencipta, dengan menyatakan bahwa alam semesta ini adalah kumpulan materi yang
konstan, stabil, dan tidak berubah-ubah. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi abad ke-20 menghancurkan konsep-konsep primitif seperti model alam
semesta yang statis. Saat ini, pada awal abad ke-21, melalui sejumlah besar
percobaan, pengamatan, dan perhitungan, fisika modern telah mencapai kesimpulan
bahwa alam semesta memiliki awal, bahwa alam diciptakan dari ketiadaan dan
dimulai oleh suatu ledakan besar.
Selain
itu, berlawanan dengan pendapat kaum materialis, kesimpulan ini menyatakan
bahwa alam semesta tidaklah stabil atau konstan, tetapi senantiasa bergerak,
berubah, dan memuai. Saat ini, fakta-fakta tersebut telah diakui oleh dunia
ilmu pengetahuan. Sekarang, marilah kita lihat bagaimana fakta-fakta yang
sangat penting ini dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.
Pemuaian Alam Semesta
Pada
tahun 1929, di observatorium Mount Wilson di California, seorang astronom
Amerika bernama Edwin Hubble membuat salah satu temuan terpenting dalam sejarah
astronomi. Ketika tengah mengamati bintang dengan teleskop raksasa, dia
menemukan bahwa cahaya yang dipancarkan bintang-bintang bergeser ke ujung merah
spektrum. Ia pun menemukan bahwa pergeseran ini terlihat lebih jelas jika
bintangnya lebih jauh dari bumi. Temuan ini menggemparkan dunia ilmu
pengetahuan. Berdasarkan hukum-hukum fisika yang diakui, spektrum sinar cahaya
yang bergerak mendekati titik pengamatan akan cenderung ungu, sementara sinar
cahaya yang bergerak menjauhi titik pengamatan akan cenderung merah. Pengamatan
Hubble menunjukkan bahwa cahaya dari bintang-bintang cenderung ke arah warna
merah. Ini berarti bahwa bintang-bintang tersebut senantiasa bergerak menjauhi
kita.
Tidak
lama sesudah itu, Hubble membuat temuan penting lainnya: Bintang dan galaksi
bukan hanya bergerak menjauhi kita, namun juga saling menjauhi. Satu-satunya
kesimpulan yang dapat dibuat tentang alam semesta yang semua isinya bergerak
saling menjauhi adalah bahwa alam semesta itu senantiasa memuai.
Agar
lebih mudah dimengerti, bayangkan alam semesta seperti permukaan balon yang
tengah ditiup. Sama seperti titik-titik pada permukaan balon akan saling
menjauhi karena balonnya mengembang, benda-benda di angkasa saling menjauhi
karena alam semesta terus memuai. Sebenarnya, fakta ini sudah pernah ditemukan
secara teoretis. Albert Einstein, salah seorang ilmuwan termasyhur abad ini,
ketika mengerjakan Teori Relativitas Umum, pada mulanya menyimpulkan bahwa
persamaan yang dibuatnya menunjukkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis.
Namun, dia mengubah persamaan tersebut, dengan menambahkan sebuah “konstanta”
untuk menghasilkan model alam semesta yang statis, karena hal ini merupakan ide
yang dominan saat itu. Di kemudian hari Einstein menyebut perbuatannya itu
sebagai “kesalahan terbesar dalam kariernya”.
Jadi, apakah pentingnya fakta pemuaian alam semesta ini terhadap keberadaan alam
semesta?
Pemuaian alam semesta secara tidak langsung menyatakan bahwa alam semesta bermula dari
satu titik tunggal. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa “satu titik tunggal”
yang mengandung semua materi alam semesta ini pastilah memiliki “volume nol”
dan “kepadatan tak terbatas”. Alam semesta tercipta akibat meledaknya titik
tunggal yang memiliki volume nol tersebut. Ledakan hebat yang menandakan awal
terbentuknya alam semesta ini dinamakan Dentuman Besar (Big Bang), dan teori
ini dinamai mengikuti nama ledakan tersebut.
Harus
dikatakan di sini bahwa “volume nol” adalah istilah teoretis yang bertujuan
deskriptif. Ilmu pengetahuan hanya mampu mendefinisikan konsep “ketiadaan”,
yang melampaui batas pemahaman manusia, dengan menyatakan titik tunggal
tersebut sebagai “titik yang memiliki volume nol”. Sebenarnya, “titik yang
tidak memiliki volume” ini berarti “ketiadaan”. Alam semesta muncul dari
ketiadaan. Dengan kata lain, alam semesta diciptakan.
Fakta
ini, yang baru ditemukan oleh fisika modern pada akhir abad ini, telah
diberitakan al-Qur’an empat belas abad yang lalu: “Dia Pencipta langit dan
bumi.” (QS. Al An’aam, 6:101)
Jika
kita membandingkan pernyataan pada ayat di atas dengan teori Ledakan Besar,
terlihat kesamaan yang sangat jelas. Namun, teori ini baru diperkenalkan
sebagai teori ilmiah pada abad ke-20.
Pemuaian
alam semesta merupakan salah satu bukti terpenting bahwa alam semesta
diciptakan dari ketiadaan. Meskipun fakta di atas baru ditemukan pada abad
ke-20, Allah telah memberitahukan kenyataan ini kepada kita dalam al-Qur’an
1.400 tahun yang lalu:
“Dan
langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami
benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyaat, 51: 47) !
Pada
tahun 1948, George Gamov mengemukakan gagasan lain mengenai teori Ledakan
Besar. Dia menyatakan bahwa setelah terbentuknya alam semesta dari ledakan
hebat, di alam semesta seharusnya terdapat surplus radiasi, yang tersisa dari
ledakan tersebut. Lebih dari itu, radiasi ini seharusnya tersebar merata di
seluruh alam semesta.
Bukti
“yang seharusnya ada” ini segera ditemukan. Pada tahun 1965, dua orang peneliti
bernama Arno Penzias dan Robert Wilson, menemukan gelombang ini secara
kebetulan. Radiasi yang disebut “radiasi latar belakang” ini tampaknya tidak
memancar dari sumber tertentu, tetapi meliputi seluruh ruang angkasa. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa gelombang panas yang memancar secara seragam
dari segala arah di angkasa ini merupakan sisa dari tahapan awal Ledakan Besar.
Penzias dan Wilson dianugerahi Hadiah Nobel untuk temuan ini.
Pada
tahun 1989, NASA mengirimkan satelit Cosmic Background Explorer (COBE) ke
angkasa untuk melakukan penelitian mengenai radiasi latar belakang. Pemindai
sensitif pada satelit hanya membutuhkan waktu delapan menit untuk menegaskan
perhitungan Penzias dan Wilson. COBE telah menemukan sisa-sisa ledakan hebat
yang mengawali terbentuknya alam semesta.
Bukti
penting lain berkenaan dengan Ledakan Besar adalah jumlah hidrogen dan helium
di ruang angkasa. Pada penghitungan terbaru, diketahui bahwa konsentrasi
hidrogen-helium di alam semesta sesuai dengan penghitungan teoretis konsentrasi
hidrogen-helium yang tersisa dari Ledakan Besar. Jika alam semesta tidak
memiliki awal dan jika alam semesta ada sejak adanya keabadian (waktu yang tak
terhingga), seharusnya hidrogen terpakai seluruhnya dan diubah menjadi helium.
Semua
bukti kuat ini memaksa komunitas ilmiah untuk menerima teori Ledakan Besar.
Model ini merupakan titik terakhir yang dicapai oleh para ahli kosmologi
berkaitan dengan awal mula dan pembentukan alam semesta.
Dennis
Sciama, yang membela teori keadaan ajeg (steady-state) bersama Fred Hoyle selama
bertahun-tahun, menggambarkan posisi terakhir yang mereka capai setelah
terkumpulnya semua bukti tentang teori Ledakan Besar. Sciama mengatakan bahwa
ia telah ambil bagian dalam perdebatan sengit antara para pembela teori keadaan
ajeg dan mereka yang menguji dan berharap dapat menyangkal teori tersebut. Dia
menambahkan bahwa dulu dia membela teori keadaan ajeg bukan karena menganggap
teori tersebut benar, melainkan karena berharap bahwa teori itu benar. Fred
Hoyle bertahan menghadapi semua keberatan terhadap teori ini, sementara
bukti-bukti yang berlawanan mulai terungkap. Selanjutnya, Sciama bercerita
bahwa pertama-tama ia menentang bersama Hoyle. Akan tetapi, saat bukti-bukti
mulai bertumpuk, ia mengaku bahwa perdebatan tersebut telah selesai dan teori keadaan
ajeg harus dihapuskan.
Prof.
George Abel dari University of California juga mengatakan bahwa sekarang telah
ada bukti yang menunjukkan bahwa alam semesta bermula miliaran tahun yang lalu,
yang diawali dengan Dentuman Besar. Dia mengakui bahwa dia tidak memiliki
pilihan lain kecuali menerima teori Dentuman Besar.
Dengan
kemenangan teori Dentuman Besar, konsep “zat yang kekal” yang merupakan dasar
filosofi materialis dibuang ke tumpukan sampah sejarah. Jadi, apakah yang ada
sebelum Dentuman Besar, dan kekuatan apakah yang menjadikan alam semesta ini
“ada” melalui sebuah dentuman besar, jika sebelumnya alam semesta ini “tidak
ada”? Pertanyaan ini jelas menyiratkan, dalam kata-kata Arthur Eddington,
adanya fakta “yang tidak menguntungkan secara filosofis” (tidak menguntungkan
bagi materialis), yaitu adanya Sang Pencipta. Athony Flew, seorang filsuf ateis
terkenal, berkomentar tentang hal ini sebagai berikut:
Semua
orang tahu bahwa pengakuan itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan
memulai dengan mengaku bahwa kaum ateis Stratonician telah dipermalukan oleh
konsensus kosmologi kontemporer. Tampaknya ahli kosmologi memiliki bukti-bukti
ilmiah tentang hal yang menurut St. Thomas tidak dapat dibuktikan secara
filosofis; yaitu bahwa alam semesta memiliki permulaan. Sepanjang alam semesta
dapat dianggap tidak memiliki akhir maupun permulaan, orang tetap mudah
menyatakan bahwa keberadaan alam semesta, dan segala sifatnya yang paling
mendasar, harus diterima sebagai penjelasan terakhir. Meskipun saya masih percaya
bahwa hal ini tetap benar, tetapi benar-benar sulit dan tidak nyaman
mempertahankan posisi ini di depan cerita Dentuman Besar.
Banyak
ilmuwan, yang tidak secara buta terkondisikan menjadi ateis, telah mengakui
keberadaan Yang Maha Pencipta dalam penciptaan alam semesta. Sang Pencipta
pastilah Dia yang menciptakan zat dan ruang/ waktu, tetapi Dia tidak bergantung
pada ciptaannya. Seorang ahli astrofisika terkenal bernama Hugh Ross
mengatakan:
Jika
waktu memiliki awal yang bersamaan dengan alam semesta, seperti yang dikatakan
teorema-ruang, maka penyebab alam semesta pastilah suatu wujud yang bekerja
dalam dimensi waktu yang benar-benar independen dari, dan telah ada sebelum,
dimensi waktu kosmos. Kesimpulan ini sangat penting bagi pemahaman kita tentang
siapakah Tuhan, dan siapa atau apakah yang bukan Tuhan. Hal ini mengajarkan
bahwa Tuhan bukanlah alam semesta itu sendiri, dan Tuhan tidak berada di
dalamnya
Zat
dan ruang/waktu diciptakan oleh Yang Maha Pencipta, yaitu Dia yang terlepas
dari gagasan tersebut. Sang Pencipta adalah Allah, Dia adalah Raja di surga dan
di bumi.
Allah
memberi tahu bukti-bukti ilmiah ini dalam Kitab-Nya, yang Dia turunkan kepada
kita manusia empat belas abad lalu untuk menunjukkan keberadaan-Nya.
Kesempurnaan di
Alam Semesta
“Yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. Al-Mulk, 67:
3 - 4)!
Di
alam semesta, miliaran bintang dan galaksi yang tak terhitung jumlahnya
bergerak dalam orbit yang terpisah. Meskipun demikian, semuanya berada dalam
keserasian. Bintang, planet, dan bulan beredar pada sumbunya masing-masing dan
dalam sistem yang ditempatinya masing-masing. Terkadang galaksi yang terdiri
atas 200-300 miliar bintang bergerak melalui satu sama lain. Selama masa
peralihan dalam beberapa contoh yang sangat terkenal yang diamati oleh para
astronom, tidak terjadi tabrakan yang menyebabkan kekacauan pada keteraturan
alam semesta.
Di
seluruh alam semesta, besarnya kecepatan benda-benda langit ini sangat sulit
dipahami bila dibandingkan dengan standar bumi. Jarak di ruang angkasa
sangatlah besar bila bandingkan dengan pengukuran yang dilakukan di bumi.
Dengan ukuran raksasa yang hanya mampu digambarkan dalam angka saja oleh ahli
matematika, bintang dan planet yang bermassa miliaran atau triliunan ton,
galaksi, dan gugus galaksi bergerak di ruang angkasa dengan kecepatan yang
sangat tinggi.
Misalnya,
bumi berotasi pada sumbunya dengan kecepatan rata-rata 1.670 km/jam. Dengan
mengingat bahwa peluru tercepat memiliki kecepatan rata-rata 1.800 km/jam,
jelas bahwa bumi bergerak sangat cepat meskipun ukurannya sangat besar.
Kecepatan
orbital bumi mengitari matahari kurang-lebih enam kali lebih cepat dari peluru,
yakni 108.000 km/jam. (Andaikan kita mampu membuat kendaraan yang dapat
bergerak secepat ini, kendaraan ini dapat mengitari bumi dalam waktu 22 menit.)
Namun,
angka-angka ini baru mengenai bumi saja. Tata surya bahkan lebih menakjubkan
lagi. Kecepatan tata surya mencapai tingkat di luar batas logika manusia. Di
alam semesta, meningkatnya ukuran suatu tata surya diikuti oleh meningkatnya
kecepatan. Tata surya beredar mengitari pusat galaksi dengan kecepatan 720.000
km/jam. Kecepatan Bima Sakti sendiri, yang terdiri atas 200 miliar bintang,
adalah 950.000 km/jam di ruang angkasa.
Kecepatan
yang luar biasa ini menunjukkan bahwa hidup kita berada di ujung tanduk.
Biasanya, pada suatu sistem yang sangat rumit, kecelakaan besar sangat sering
terjadi. Namun, seperti diungkapkan Allah dalam ayat di atas, sistem ini tidak
memiliki “cacat” atau “tidak seimbang”. Alam semesta, seperti juga segala
sesuatu yang ada di dalamnya, tidak dibiarkan “sendiri” dan sistem ini bekerja
sesuai dengan keseimbangan yang telah ditentukan Allah.
Orbit dan Alam
Semesta yang Berrotasi
Salah
satu sebab utama yang menghasilkan keseimbangan di alam semesta, tidak
diragukan lagi, adalah beredarnya benda-benda angkasa sesuai dengan orbit atau
lintasan tertentu. Walaupun baru diketahui akhir-akhir ini, orbit ini telah ada
di dalam al-Qur’an:
“Dan
Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan.
Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (QS. Al Anbiyaa’,
21: 33) !
Bintang,
planet, dan bulan berputar pada sumbunya dan dalam sistemnya, dan alam semesta
yang lebih besar bekerja secara teratur seperti pada roda gigi suatu mesin.
Tata surya dan galaksi kita juga bergerak mengitari pusatnya masing-masing.
Setiap tahun bumi dan tata surya bergerak 500 juta kilometer menjauhi posisi
sebelumnya. Setelah dihitung, diketahui bahwa bila suatu benda langit
menyimpang sedikit saja dari orbitnya, hal ini akan menyebabkan hancurnya
sistem tersebut. Misalnya, marilah kita lihat apa yang akan terjadi bila orbit
bumi menyimpang 3 mm lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya.
Selagi
berotasi mengitari matahari, bumi mengikuti orbit yang berdeviasi sebesar 2,8
mm dari lintasannya yang benar setiap 29 km. Orbit yang diikuti bumi tidak
pernah berubah karena penyimpangan sebesar 3 mm akan menyebabkan kehancuran yang
hebat. Andaikan penyimpangan orbit adalah 2,5 mm, dan bukan 2,8 mm, orbit bumi
akan menjadi sangat luas dan kita semua akan membeku. Andaikan penyimpangan
orbit adalah 3,1 mm, kita akan hangus dan mati. (Bilim ve Teknik, Juli 1983)
Matahari
Berjarak
150 juta km dari bumi, matahari menyediakan energi yang kita butuhkan secara
terus-menerus.
Pada
benda angkasa yang berenergi sangat besar ini, atom hidrogen terus-menerus
berubah menjadi helium. Setiap detik 616 miliar ton hidrogen berubah menjadi
612 miliar ton helium. Selama sedetik itu, energi yang dihasilkan sebanding
dengan ledakan 500 juta bom atom.
Kehidupan
di bumi dimungkinkan oleh adanya energi dari matahari. Keseimbangan di bumi
yang tetap dan 99% energi yang dibutuhkan untuk kehidupan disediakan oleh
matahari. Separo energi ini kasatmata dan berbentuk cahaya, sedangkan sisanya
berbentuk sinar ultraviolet, yang tidak kasatmata, dan berbentuk panas.
Sifat
lain dari matahari adalah memuai secara berkala seperti lonceng. Hal ini
berulang setiap lima menit dan permukaan matahari bergerak mendekat dan menjauh
3 km dari bumi dengan kecepatan 1.080 km/jam.
Matahari
hanyalah salah satu dari 200 juta bintang dalam Bimasakti. Meskipun 325.599
kali lebih besar dari bumi, matahari merupakan salah satu bintang kecil yang
terdapat di alam semesta. Matahari berjarak 30.000 tahun cahaya dari pusat
Bimasakti, yang berdiameter 125.000 tahun cahaya. (1 tahun cahaya =
9.460.800.000.000 km.)
Perjalanan
Matahari
“Dan
matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang
Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yaasin, 36: 38) !
Berdasarkan
perhitungan para astronom, akibat aktivitas galaksi kita, matahari berjalan
dengan kecepatan 720.000 km/jam menuju Solar Apex, suatu tempat pada bidang
angkasa yang dekat dengan bintang Vega. (Ini berarti matahari bergerak sejauh
kira-kira 720.000×24 = 17.280.000 km dalam sehari, begitu pula bumi yang
bergantung padanya.)
Langit Tujuh Lapis
“Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS. Ath-Thaalaq,
65: 12) !
Dalam
al-Qur’an Allah menyebutkan tujuh surga atau langit. Ketika ditelaah, atmosfer
bumi ternyata terbentuk dari tujuh lapisan. Di atmosfer terdapat suatu bidang
yang memisahkan lapisan dengan lapisan. Berdasarkan Encyclopedia Americana
(9/188), lapisan-lapisan yang berikut ini bertumpukan, bergantung pada suhu.
Lapisan
pertama TROPOSFER: Lapisan ini mencapai ketebalan 8 km di kutub dan 17 km di
khatulistiwa, dan mengandung sejumlah besar awan. Setiap kilometer suhu turun
sebesar 6,5C, bergantung pada ketinggian. Pada salah satu bagian yang disebut
tropopause, yang dilintasi arus udara yang bergerak cepat, suhu tetap konstan
pada 57C.
Lapisan
kedua STRATOSFER: Lapisan ini mencapai ketinggian 50 km. Di sini sinar
ultraviolet diserap, sehingga panas dilepaskan dan suhu mencapai 0C. Selama
penyerapan ini, dibentuklah lapisan ozon yang penting bagi kehidupan.
Lapisan
ketiga MESOSFER: Lapisan ini mencapai ketinggian 85 km. Di sini suhu turun
hingga 100C.
Lapisan
keempat TERMOSFER: Peningkatan suhu berlangsung lebih lambat
Lapisan
kelima IONOSFER: Gas pada lapisan ini berbentuk ion. Komunikasi di bumi menjadi
mungkin karena gelombang radio dipantulkan kembali oleh ionosfer.
Lapisan
keenam EKSOSFER: Karena berada di antara 500 dan 1000 km, karakteristik lapisan
ini berubah sesuai aktivitas matahari.
Lapisan
ketujuh MAGNETOSFER: Di sinilah letak medan magnet bumi. Penampilannya seperti
suatu bidang besar yang kosong. Partikel subatom yang bermuatan energi tertahan
pada suatu daerah yang disebut sabuk radiasi Van Allen.
Gunung Mencegah
Gempa Bumi
“Dia
menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan
gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan
memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang.” (QS. Luqman, 30:
10)
“Bukankah
Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai
pasak?” (QS. An-Naba’, 78: 7)
Informasi
yang diperoleh melalui penelitian geologi tentang gunung sangatlah sesuai
dengan ayat al-Qur’an. Salah satu sifat gunung yang paling signifikan adalah
kemunculannya pada titik pertemuan lempengan-lempengan bumi, yang saling
menekan saat saling mendekat, dan gunung ini “mengikat” lempengan-lempengan
tersebut. Dengan sifat tersebut, pegunungan dapat disamakan seperti paku yang
menyatukan kayu.
Selain
itu, tekanan pegunungan pada kerak bumi ternyata mencegah pengaruh aktivitas
magma di pusat bumi agar tidak mencapai permukaan bumi, sehingga mencegah magma
menghancurkan kerak bumi.
Air Laut Tidak
Saling Bercampur
“Dia
membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya
ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (QS. Ar-Rahmaan,
55: 19-20) !
Pada
ayat di atas ditekankan bahwa dua badan air bertemu, tetapi tidak saling
bercampur akibat adanya batas. Bagaimana ini dapat terjadi? Biasanya, bila air
dari dua lautan bertemu, diduga airnya akan saling bercampur dengan suhu dan
konsentrasi garam cenderung seimbang. Namun, kenyataan yang terjadi berbeda
dengan yang diperkirakan. Misalnya, meskipun Laut Tengah dan Samudra Atlantik,
serta Laut Merah dan Samudra Hindia secara fisik saling bertemu, airnya tidak
saling bercampur. Ini karena di antara keduanya terdapat batas. Batas ini
adalah gaya yang disebut “tegangan permukaan”.
Dua Kode dalam
Besi
Besi
adalah satu dari empat unsur yang paling berlimpah di bumi. Selama berabad-abad
besi merupakan salah satu logam terpenting bagi umat manusia. Ayat yang
berkenaan dengan besi adalah sebagai berikut:
“…Dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia.” (QS. Al Hadiid, 57: 25) !
Ayat
ini melibatkan dua kode matematika yang sangat menarik.
“Al
Hadid” (besi) adalah surat ke-57 di dalam al-Qur’an. Nilai numerik (dalam
sistem “Abjad” Arab, setiap huruf memiliki nilai numerik) huruf-huruf dari kata
“Al Hadid” jumlahnya sama dengan 57, yakni nomor massa besi.
Nilai
numerik (Abjad) dari kata “Hadid” (besi) sendiri, tanpa penambahan “al”,
jumlahnya 26, yakni nomor atom besi.
Sumber:
www.wisdoms4all.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar