Upaya
Menutupi Kegagalan Dalam Belajar
Pudjo
Sumedi AS
UHAMKA

Droup
out serta ketidaktercapaian kompetensi yang distandarkan dalam belajar
terjadi hampir di seluruh jenjang pendidikan baik di negara maju rnaupun di
negara berkembang, terlebih di negara terbelakang.
Di
Amerika Serikat, negara yang kaya perkembangan sistem dan metode pengajaran ini
ringkat putus sekolah masih cukup tinggi. Menurut John Holt dalam bukunya "How
Children Fair dinyatakan bahwa siswa yang masuk pendidikan mengarah hampir
40% putus sekoah. Banyak siswa gagal yang terselubung, mereka tetap bersekolah
namun tidak mencapai standar kompetensi yang ditetapkan. Sementara itu di
Jepang, negara yang dianggap berhasil dalam pengembangan SDM melalui sistem
pendidikan, ternyata masih ditemui bentuk sindiran "Ochikobore sichi
go san" oleh masyarakatnya sendiri. Ungkapan tersebut bermakna :
hanya 70% siswa SD yang sebenarnya tamat sekolah, meski dalam faktanya 100%
tamat sekolahnya. Untuk SLTP, hanya mencapai 50% dan SMA hanya 30% yang
sebenarnya berhasil menamatkan pendidikannya sesuai dengan standar yang
ditetapkan. Mereka menyelesaikan pendidikan hanya karena sepakat agar naik
kelas atau lulus dari sekolah tanpa memperoleh ilmu yang memadai atau tidak.
Kemampuan dan keterampilan siswa pada suatu jenjang pendidikan tersebut kurang
dipertimbangkan.
Bagaimana
dengan di Indonesia ? Di Indonesia sendiri, mutu pendidikan baik dilihat dari
aspek akademis maupun non akademis menampakkan hal yang tidak jauh berbeda,
bahkan lebih mengkhawatirkan dibanding negara berkembang dan maju lainnya.
Dilihat dari segi akademis dapat dilihat dari indikator hasil nilai Ujian
Nasional maupun rangking dalam HDI yang merosot di bawah Vietnam.
Strategi
Belajar Yang Sering Dugunakan oleh Siswa
Setiap
hari jutaan anak dan ribuan orang dewasa berinteraksi dalam hubungan antara
siswa dan guru. Namun, tidak diketahui apakah interaksi yang mereka lakukan
berpengaruh terhadap proses belajar-mengajar. Tidak ada teori belajar atau
praktik pendidikan yang mengetengahkan apakah yang sebenarnya terjadi ketika
guru bertanya kepada siswanya di kelas. Apakah yang didengar siswa bila ia
dipanggil? Apakah yang dipikirkannya, fantasinya dan yang diharapkannya?
Kebiasaan seperti apa yang dilakukannya? Adakah pengaruh yang ditimbulkannya
terhadap guru? Seringkali guru tidak mengerti jawaban siswa atau ia hanya menganggap
jawaban tersebut betul atau salah. Itulah sebabnya, memahami anak adalah hal
yang-sangat penting dalam proses belajar-mengajar. Dengan mempelajari strategi
yang dipakai oleh siswa dalam mengikuti pelajaran, pertanyaan-pertanyaan di
atas dapat terjawab.
Menurut
John Holt (1980) "Strategy deals with the ways in which children try
to meet or dodge the demands that adult make on them in schoof. (Strategi
adalah cara siswa memenuhi atau menghindari tuntutan yang dikenakan kepadanya
oleh orang dewasa di sekolah).
Lima
dari banyak strategi belajar yang menurut Holt (1980) sering dipakai siswa
dalam mengikuti pelajaran di kelas. Pertama adalahProducer —
Thinker Strategy (Strategi Pencetus — Pemikir). Istilah producer (pencetus)
dipakai untuk mementingkan jawaban yang benar, dan untuk mendapatkan jawaban
itu mereka berbuat apa saja misalnya memakai peraturan dan rumus secara
sembarangan. Siswa semacam ini biasanya langsung mencuat dengan jawaban yang
benar dan seringkali mundur ke sikap mengakh dan putus asa bila tidak
mengetahui apa yang haras dilakukannya. Istilah thinker (pemikir)
adalah siswa yang berusaha memahami arti, kenyataan, atau apa saja yang sedang
dipelajarinya. Pemikir biasanya lebih bersedia bekerja keras. Sayangnya,
pengguna strategi pemikir lebih sedikit jika dibandingkan dengan pencetus (producer
strategy).
Kedua, Mumble
Strategy (strategi komat-kamit). Strategi ini sering dipakai siswa dalam
pelajaran bahasa di kelas yang besar. Strategi ini sangat bermanfaat bagi guru
yang cerewet tentang aksen dan bangga akan aksen dirinya sendiri. Jika siswa
diminta mengulangi kalimat, ada yang hanya membuka mulut tanpa mengucapkan
bunyi yang jelas atau benar, tanpa memahami artinya. Guru akan menyangka semua
siswanya mengikuti pekjaran dengan baik.
Ketiga, Minimax
Strategy (strategi memaksimalkan). Dengan strategi ini, siswa memanfaatkan
peluang untuk menang seluas- luasnya (mekasilatnlkan) dan menekan
serendah-rendahnya (meminimalkan) kekalahan kelau terpaksa hams kalah. Contoh :
seorang siswa dimtnta untuk menentukan di titik mana ia harus menaruh suatu
beban pada palang keseimbangan (balance beam) sehingga terjadi keseimbangan.
Bila teman-temannya berpendapat bahwa palang itu tidak akan seimbang dengan
titik pilihannya, makin lama ia makin tidak yakin akan pilihannya. Akhirnya,
setelah semuanya berbicara dan ia harus memecahkan masalah itu, ia pun berkata
dengan riang, "Saya pribadi juga berpendapat bahwa tidak akan terjadi
keseimbangan".
Keempat, Tried
and True Strategy of Guess and Look (strategi coba dan benar dengan
tebakan dan pengamatan). Siswa seringkali terus terang dengan strategi yang
dipakainya untuk mendapatkan jawaban dari guru. Untuk melakukan tes terhadap
siswa dalam hal jenis kata, guru membuat tiga kolom di papan tulis,
masing-masing dengan judul kata benda, kata sifat dan kata kerja. Kemudian
memberi pertanyaan termasuk jenis kata apa suatu kata. Salah seorang siswa
berkata, "Ibu telah menunjukkan jawabannya". Mungkin guru itu
terkejut dan bertanya apa maksudnya. Sebenarnya guru tersebut tidak menunjuk,
tetapi berdiri di samping kolom yang menjadi jawaban. Begitu guru mengucapkan
suatu kata, siswa menyimak menghadap kemana muka guru untuk menebak jawaban
yang benar. Siswa tidak sepenuhnya belajar jenis kata, namun lebih mempelajari
gerakan atau tingkah guru dalam mengajar. Bahkan dalam penyusunan soal tes,
siswa sering mengamati jenis pertanyaan yang biasanya dibuat oleh guru,
sehingga siswa hanya belajar bagian tertentu dari pelajaran tersebt.
Kelima, Numeral
Shoving Strategy (strategi aduk angka). Siswa sering memakai strategi ini
dalam pelajaran matematika atau berhitung. Walaupun anak-anak menjawab dengan
benar, mereka seringkali tidak betul-betul mengerti masalahnya. Jika kita
menanyakan dari mana mereka memperoleh jawaban itu, segera disadari bahwa
mereka hanya mengaduk-aduk bahan pelajaran saja.
Pada
kenyataannya, siswa memakai strategi secara konsisten. Siswa terpandai memakai
strategi tersebut, demikian juga siswa yang bodoh, dapat dipastikan selalu
menggunakan strategi dalam belajar.
Bahkan
setiap siswa cenderung akan memakai strategi tersebut bila dalam keadaan
tertekan. Salah satu cara menjelaskan strategi ini adalah dengan menyebutkannya
sebagai yang mernentingkan jawaban (answer-centered) dan yang
mementingkan persoalan (problem-centered). Perbedaan diantara kedua
siswa ini dapat dilihat dari persoalan yang dihadapinya. Kebanyakan anak
sekolah cenderung memandang masalah sebagai semacam pengumuman yang jawabannya
ada di suatu tempat misterius nun jauh di sana, dan mereka harus pergi ke sana
untuk mencapainya.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Strategi Belajar Siswa
Faktor
utama yang mempengaruhi anak-anak menggunakan salah satu strategi belajar
adalah guru. Lester Smith (1976) bersikukuh bahwa "Practically
everything ive do in school tends to make children answer-centered' (hampir
semua hal yang kita lakukan di sekolah cenderung membuat anak-anak menjadi answer—centered). Ada
tiga alas an yang berhubungan dengan masalah ini. Pertatna,jawaban yang
benar selalu mendapat ganjaran. Sekolah merupakan semacam tempat pemujaan bagi
jawaban yang benar, dan cara untuk maju adalah dengan mempersembahkan
sebanyak-banyaknya jawaban yang benar di meja pemujaan. Kedua, kebanyakan
guru-guru punanswer-centered. Apa yang dilakukan guru adalah akibat apa
yang telah dilakukannya. Ketiga, bahkan guru yang tidak answer-centered pun
mungkin tidak melihat perbedaan antara yang answer-centered dan yang problem-centered, apalagi
mengerti betapa pentingnya hal itu. Jadi, cara mengajar siswa terutama
substansi yang diberikan kepada anak-anak akan mendorong mereka menggunakan
strategi vans bersifat answer-centered. .
Strategi
belajar merupakan akibat dan karakater siswa. Mereka menggunakan berbagai
strategi dalam belajar disebabkan adanya suatu perasaan tertentu yang ingin
diatasi, adanya harapan-harapan yang ingin dimiliki, adanya tantangan
dikelas dan tantangan lain yang dirasakan. Suatu hal yang menjadi
perhatian utama siswa adalah adanya keinginan untuk mempertahankan diri
sendiri. Rasa ketakutan akan sangat berpengaruh pada strategi belajarnya.
Hampir
dapat dipastikan bahwa strategi belajar siswa akan konsisten pada kepentingan
diri dan pertahanan diri yang semua ditujukan untuk kehilangan status. Berbagai
pertanyaan akan muncul pada siswa manakala rnereka harus menjawab suatu
pertanyaan. Pertanyaan yang muncul antara lain adalah, "Apakah yang akan
terjadi padaku kalau menjawab salah ? Tidakkah guru akan marah ? Apakah teman-teman
tidak akan mentertawakan aku ?"
Siswa
seharusnya dibebaskan dari rasa ketakutan atau kekhawatiran sehingga mampu
menggunakan kemampuan dan penalarannya seoptimal mungkin. Sebagai ilustrasi
misalnya tentara akan mampu mengontrol ketakutan, hidup di tengah ketakutan,
menaklukan rasa takutnya dan sangat dimungkinkan justru ketakutannya
menimbulkan strategi perang yang baik. Namun, ada perbedaan yang sangat
mendasar antara sekolah dan perang.
Siswa
dalam menyesuaikan diri dengan perasaan takut akan berakibat buruk dan
menghancurkan kemampuan mereka. Sedangkan prajurit yang ketakutan dapat menjadi
penyerang yang terbaik, namun pelajar yang ketakutan akan selalu menjadi siswa
yang bodoh.
Belajar
Yang Sesungguhnya
Kegiatan
seperti mencari kosakata, menghafal sebuah puisi, mengopersikan komputer dan
aktifitas-aktifitas lainnya termasuk dalam kegiatan belajar. Kegiatan belajar
dapat dilakukan dimana saja baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan
belajar tidak selalu berarti senyatanya sungguh-sungguh belajar (real
learning.
Real
learning atau belajar yang sesungguhnya berhubungan dengan perbedaan antara
"apakah yang diharapkan dapat diketahui oleh anak" dengan apakah yang
sebenarnya mereka ketahui".
John
Holt (1981) mengatakan dalam bukunya How Children Pail: 'What seem simple,
natural and self evident to us may not seem to n child'' (yang
kelihatannya sederhana, alami dan kita buktikan/yakini tidak selalu sama dengan
apa yang dilihat oleh anak). John Holt memberi contoh tentang pemahaman angka
10. Orang dewasa telah terbiasa dengan angka 10 sehingga tidak pernah
membayangkan perbedaan angka 1 (satu) dengan 0 (nol) untuk bilangan sesuatu,
apakah lebih besar atau sama. Kita harus akui, kesulitan guru terjadi pada saat
pertama mengenalkan angka kepada anak-anak, agar mereka tidak merasa
mendapatkan teka-teki yang tidak jelas. Dikhawatirkan, pada saat pertama kali
mengenalkan angka 10, anak-anak akan kaget sehingga mereka tidak pernah
memahami atau akan membekukan penalarannya waktu memikirkan hal tersebut.
Seorang
guru bahasa Inggris di SLTP harus sangat bijak dalam mengajarkan Countable
and Uncountable Nouns. Siswa berpikir bahwa benda yang countable adalah
benda yang dapat diberi bilangan satau, dua seterusnya. Dalam otak siswa tidak
pernah atau tidak terbiasa memikirkan perbedaan Countable dan Uncountable
Nouns, karena tidak dikenal dalam bahasa Indonesia.
Orang
dewasa sering tidak mengetahui apakah yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh
anak. Jika anak tidak dapat memahami hal yang sangat umum, hal itu dimungkinkan
karena bahasa yang digunakan sulit dipahaminya, atau paling tidak disebabkan
adanya kontradiksi antara kebiasaan yang mereka alami dengan yang kita
bicarakan. Kita tidak dapat mengatakan anak itu bodoh bila ia tidak dengan
cepat memahami ide kita ketika diminta membagi angka 6 dengan 1/2. Contoh :
siswa yang memahami definisi pembagian akan menjawab dengan benar yaitu 12.
Namun, bagi siswa yang merasa telah ahli dalam perkalian pecahan yang
dipelajarinya dalam beberapa hari sebelumnya akan mengartikan pembagian dengan
definisi yang berbeda. Kalau membagi 6 kedalam tengahan, beberapa besar
tiap-tiap tengahan, sehingga mereka berfikir berapa separuh dari 6, maka
jawabannya adalah 3. Disini guru memnemukan kesulitan, karena tidak menjelaskan
perbedaan definisi pembagian, sehingga definisi kedua ini tidak dapat
diterapkan pada kasus tersebut.
Penjelasan
yang keliru oleh guru akan menyebabkan salah pengertian siswa. Oleh karena itu,
sebaiknya menanyakan masuk akal atau tidak atau dapat dipahami atau tidak
daripada menanyakan salah atau benar.
Kesimpulan
dan Saran
Setelah
diketahui tentang Ochikobore yang terjadi, masalah tersebut harus
dipecahkan dan diatasi. Sungguhpun ochikobore bukan semata-mata
merupakan produk guru, namun guru tidak boleh mengelak dari tanggung jawabnya.
Banyak
siswa gagal dalam belajar karena mereka tidak dapat menangkap bahasa guru.
Selain itu, seringkali kemampuan siswa di sekolah tidak terlihat karena mereka
merasa takut. Hal ini menyebabkan guru keliru dalam menilai kemampuan siswa.
Adanya perasaan takut yang mempengaruhi, menyebabkan siswa menggunakan berbagai
strategi dalam belajar untuk menjaga diri agar tidak dimarahi guru. Guru sering
meremehkan kemampuan dan kreativitas siswa dengan memerintahkan mereka berbuat
sesuatu atas inisiatif guru. Guru menciptakan kekhawatiran bagi siswa, khawatir
membuat kesalahan, tidak memnuhi harapan orang lain atau teman, tidak dapat
menggembirakan, gagal, dan menjadi salah.
Berbagai
strategi belajar sering digunakan oleh siswa dalam rangka membela diri karena
sebanrnya mereka dalam kondisi takut. Mereka takut kena marah guru, takut
diolok-olok teman dan takut mendapat nilai jelek. Untuk mengurangi kegagalan
siswa atau Ochikobore,guru diharapkan lebih memberikan perhatian pada
strategi siswa dalam belajar disamping berupaya memabntu menghilangkan berbagai
rasa takut yang ada pada siswa dengan memberikan kebebasan dalam belajar. Guru
diharapkan lebih memahami kemampuan siswa yang sesungguhnya sehingga mampu
menyusun program yang sesuai untuk langkah pembelajaran selanjutnya.
Seharusnya
sekolah menjadi tempat dimana anak-anak mempelajari apa yang sesungguhnya ingin
mereka ketahui dan bukan apa yang harus mereka ketahui. Seorang anak yang ingin
mengetahui sesuatu akan selalu mengingat dan menggunakannya sekaligus.
Sebaliknya, anak yang belajar untuk menyenangkan atau melakukan sesuatu atas
perintah orang lain, akan segera lupa sewaktu keperluan tersebut telah lewat.
Untuk
menghilangkan atau mengurangi ras takut siswa, peran guru harus diubah. Diamna yang
selama ini lebih selaku instruktor menjadi fasilitator. Tugas guru adalah
membantu anak dalam belajar. Perbedaan-perbedaan individu pantas untuk mendapat
perhatian. Hal-hal ini sulit dilakukan bila jumlah siswa di dalam suatu kelas
terlalu banyak. Disarankan agar standar jumlah siswa di kelas disesuaikan
dengan kemampuan kontrol guru agar "output" dari sekolah mencapai
kualitas yang memadai. Prinsip persamaan hak (equality) dalam
pendidikan sudah waktunya ditingkatkan dari pemerataan kesempatan belajar ke
arah pemerataan kualitas belajar.
Daftar
Kepustakaan
Holt,
John. 1981. Hoiv Children Fail. Pipman Publishing Coorporation.
Holt,
John. 1980. Hoiv Children Learn. Pipman Publishing Coorporation.
Sukardi,
Edy dan Suyatno (Ed.) 2005 Refleksi Satu Abad Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta:
Uhamka Press.
Munandar,
Utami, S.C. 1995. Beberapa Gagasan Mengenai Reorientasi Pendidikan di
Indonesia. Dalam Reorientasi ilmuPendidikan di Indonesia. Mochtar Buchori
dan Sugeng Riadi (Ed.) Jakarta. IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar