,

Pages

Minggu, 30 Juni 2013

Jurnal Ilmiah


Upaya Menutupi Kegagalan Dalam Belajar

Pudjo Sumedi AS
UHAMKA

Many ways are used by people as their efforts to wrap their weaknesses or failures. When students attend the class, they often do some ways to wrap their own weaknesess. What they do may be called a way of their own learning strategy and it is caused by their fear on their friends' mockery and teachers' annoyance. The kind of this strategy influences the students' learning quality. The learning strategies commonly used comprise (1) producer-thinker strategy, (2) tried and true strategy, (3) minimax strategy, (4) mumble strategy, and (5) numeral shoving strategy. With the understanding of the strategies, it is hoped teachers will be able to use some suitable ways and methods of teaching, minimise the students' fear, create mutual situation of appreciation among their friends as well as share the freedom of learning.
Keywords: learning strategy, teaching ways, /earning quality

Droup out serta ketidaktercapaian kompetensi yang distandarkan dalam belajar terjadi hampir di seluruh jenjang pendidikan baik di negara maju rnaupun di negara berkembang, terlebih di negara terbelakang.
Di Amerika Serikat, negara yang kaya perkembangan sistem dan metode pengajaran ini ringkat putus sekolah masih cukup tinggi. Menurut John Holt dalam bukunya "How Children Fair dinyatakan bahwa siswa yang masuk pendidikan mengarah hampir 40% putus sekoah. Banyak siswa gagal yang terselubung, mereka tetap bersekolah namun tidak mencapai standar kompetensi yang ditetapkan. Sementara itu di Jepang, negara yang dianggap berhasil dalam pengembangan SDM melalui sistem pendidikan, ternyata masih ditemui bentuk sindiran "Ochikobore sichi go san" oleh masyarakatnya sendiri. Ungkapan tersebut bermakna : hanya 70% siswa SD yang sebenarnya tamat sekolah, meski dalam faktanya 100% tamat sekolahnya. Untuk SLTP, hanya mencapai 50% dan SMA hanya 30% yang sebenarnya berhasil menamatkan pendidikannya sesuai dengan standar yang ditetapkan. Mereka menyelesaikan pendidikan hanya karena sepakat agar naik kelas atau lulus dari sekolah tanpa memperoleh ilmu yang memadai atau tidak. Kemampuan dan keterampilan siswa pada suatu jenjang pendidikan tersebut kurang dipertimbangkan.
Bagaimana dengan di Indonesia ? Di Indonesia sendiri, mutu pendidikan baik dilihat dari aspek akademis maupun non akademis menampakkan hal yang tidak jauh berbeda, bahkan lebih mengkhawatirkan dibanding negara berkembang dan maju lainnya. Dilihat dari segi akademis dapat dilihat dari indikator hasil nilai Ujian Nasional maupun rangking dalam HDI yang merosot di bawah Vietnam.
Strategi Belajar Yang Sering Dugunakan oleh Siswa
Setiap hari jutaan anak dan ribuan orang dewasa berinteraksi dalam hubungan antara siswa dan guru. Namun, tidak diketahui apakah interaksi yang mereka lakukan berpengaruh terhadap proses belajar-mengajar. Tidak ada teori belajar atau praktik pendidikan yang mengetengahkan apakah yang sebenarnya terjadi ketika guru bertanya kepada siswanya di kelas. Apakah yang didengar siswa bila ia dipanggil? Apakah yang dipikirkannya, fantasinya dan yang diharapkannya? Kebiasaan seperti apa yang dilakukannya? Adakah pengaruh yang ditimbulkannya terhadap guru? Seringkali guru tidak mengerti jawaban siswa atau ia hanya menganggap jawaban tersebut betul atau salah. Itulah sebabnya, memahami anak adalah hal yang-sangat penting dalam proses belajar-mengajar. Dengan mempelajari strategi yang dipakai oleh siswa dalam mengikuti pelajaran, pertanyaan-pertanyaan di atas dapat terjawab.
Menurut John Holt (1980) "Strategy deals with the ways in which children try to meet or dodge the demands that adult make on them in schoof. (Strategi adalah cara siswa memenuhi atau menghindari tuntutan yang dikenakan kepadanya oleh orang dewasa di sekolah).
Lima dari banyak strategi belajar yang menurut Holt (1980) sering dipakai siswa dalam mengikuti pelajaran di kelas. Pertama adalahProducer — Thinker Strategy (Strategi Pencetus — Pemikir). Istilah producer (pencetus) dipakai untuk mementingkan jawaban yang benar, dan untuk mendapatkan jawaban itu mereka berbuat apa saja misalnya memakai peraturan dan rumus secara sembarangan. Siswa semacam ini biasanya langsung mencuat dengan jawaban yang benar dan seringkali mundur ke sikap mengakh dan putus asa bila tidak mengetahui apa yang haras dilakukannya. Istilah thinker (pemikir) adalah siswa yang berusaha memahami arti, kenyataan, atau apa saja yang sedang dipelajarinya. Pemikir biasanya lebih bersedia bekerja keras. Sayangnya, pengguna strategi pemikir lebih sedikit jika dibandingkan dengan pencetus (producer strategy).
Kedua, Mumble Strategy (strategi komat-kamit). Strategi ini sering dipakai siswa dalam pelajaran bahasa di kelas yang besar. Strategi ini sangat bermanfaat bagi guru yang cerewet tentang aksen dan bangga akan aksen dirinya sendiri. Jika siswa diminta mengulangi kalimat, ada yang hanya membuka mulut tanpa mengucapkan bunyi yang jelas atau benar, tanpa memahami artinya. Guru akan menyangka semua siswanya mengikuti pekjaran dengan baik.
Ketiga, Minimax Strategy (strategi memaksimalkan). Dengan strategi ini, siswa memanfaatkan peluang untuk menang seluas- luasnya (mekasilatnlkan) dan menekan serendah-rendahnya (meminimalkan) kekalahan kelau terpaksa hams kalah. Contoh : seorang siswa dimtnta untuk menentukan di titik mana ia harus menaruh suatu beban pada palang keseimbangan (balance beam) sehingga terjadi keseimbangan. Bila teman-temannya berpendapat bahwa palang itu tidak akan seimbang dengan titik pilihannya, makin lama ia makin tidak yakin akan pilihannya. Akhirnya, setelah semuanya berbicara dan ia harus memecahkan masalah itu, ia pun berkata dengan riang, "Saya pribadi juga berpendapat bahwa tidak akan terjadi keseimbangan".
Keempat, Tried and True Strategy of Guess and Look (strategi coba dan benar dengan tebakan dan pengamatan). Siswa seringkali terus terang dengan strategi yang dipakainya untuk mendapatkan jawaban dari guru. Untuk melakukan tes terhadap siswa dalam hal jenis kata, guru membuat tiga kolom di papan tulis, masing-masing dengan judul kata benda, kata sifat dan kata kerja. Kemudian memberi pertanyaan termasuk jenis kata apa suatu kata. Salah seorang siswa berkata, "Ibu telah menunjukkan jawabannya". Mungkin guru itu terkejut dan bertanya apa maksudnya. Sebenarnya guru tersebut tidak menunjuk, tetapi berdiri di samping kolom yang menjadi jawaban. Begitu guru mengucapkan suatu kata, siswa menyimak menghadap kemana muka guru untuk menebak jawaban yang benar. Siswa tidak sepenuhnya belajar jenis kata, namun lebih mempelajari gerakan atau tingkah guru dalam mengajar. Bahkan dalam penyusunan soal tes, siswa sering mengamati jenis pertanyaan yang biasanya dibuat oleh guru, sehingga siswa hanya belajar bagian tertentu dari pelajaran tersebt.
Kelima, Numeral Shoving Strategy (strategi aduk angka). Siswa sering memakai strategi ini dalam pelajaran matematika atau berhitung. Walaupun anak-anak menjawab dengan benar, mereka seringkali tidak betul-betul mengerti masalahnya. Jika kita menanyakan dari mana mereka memperoleh jawaban itu, segera disadari bahwa mereka hanya mengaduk-aduk bahan pelajaran saja.
Pada kenyataannya, siswa memakai strategi secara konsisten. Siswa terpandai memakai strategi tersebut, demikian juga siswa yang bodoh, dapat dipastikan selalu menggunakan strategi dalam belajar.
Bahkan setiap siswa cenderung akan memakai strategi tersebut bila dalam keadaan tertekan. Salah satu cara menjelaskan strategi ini adalah dengan menyebutkannya sebagai yang mernentingkan jawaban (answer-centered) dan yang mementingkan persoalan (problem-centered). Perbedaan diantara kedua siswa ini dapat dilihat dari persoalan yang dihadapinya. Kebanyakan anak sekolah cenderung memandang masalah sebagai semacam pengumuman yang jawabannya ada di suatu tempat misterius nun jauh di sana, dan mereka harus pergi ke sana untuk mencapainya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Belajar Siswa
Faktor utama yang mempengaruhi anak-anak menggunakan salah satu strategi belajar adalah guru. Lester Smith (1976) bersikukuh bahwa "Practically everything ive do in school tends to make children answer-centered' (hampir semua hal yang kita lakukan di sekolah cenderung membuat anak-anak menjadi answer—centered). Ada tiga alas an yang berhubungan dengan masalah ini. Pertatna,jawaban yang benar selalu mendapat ganjaran. Sekolah merupakan semacam tempat pemujaan bagi jawaban yang benar, dan cara untuk maju adalah dengan mempersembahkan sebanyak-banyaknya jawaban yang benar di meja pemujaan. Kedua, kebanyakan guru-guru punanswer-centered. Apa yang dilakukan guru adalah akibat apa yang telah dilakukannya. Ketiga, bahkan guru yang tidak answer-centered pun mungkin tidak melihat perbedaan antara yang answer-centered dan yang problem-centered, apalagi mengerti betapa pentingnya hal itu. Jadi, cara mengajar siswa terutama substansi yang diberikan kepada anak-anak akan mendorong mereka menggunakan strategi vans bersifat answer-centered. .
Strategi belajar merupakan akibat dan karakater siswa. Mereka menggunakan berbagai strategi dalam belajar disebabkan adanya suatu perasaan tertentu yang ingin diatasi, adanya harapan-harapan yang ingin dimiliki, adanya tantangan dikelas dan tantangan lain yang dirasakan. Suatu hal yang menjadi perhatian utama siswa adalah adanya keinginan untuk mempertahankan diri sendiri. Rasa ketakutan akan sangat berpengaruh pada strategi belajarnya.
Hampir dapat dipastikan bahwa strategi belajar siswa akan konsisten pada kepentingan diri dan pertahanan diri yang semua ditujukan untuk kehilangan status. Berbagai pertanyaan akan muncul pada siswa manakala rnereka harus menjawab suatu pertanyaan. Pertanyaan yang muncul antara lain adalah, "Apakah yang akan terjadi padaku kalau menjawab salah ? Tidakkah guru akan marah ? Apakah teman-teman tidak akan mentertawakan aku ?"
Siswa seharusnya dibebaskan dari rasa ketakutan atau kekhawatiran sehingga mampu menggunakan kemampuan dan penalarannya seoptimal mungkin. Sebagai ilustrasi misalnya tentara akan mampu mengontrol ketakutan, hidup di tengah ketakutan, menaklukan rasa takutnya dan sangat dimungkinkan justru ketakutannya menimbulkan strategi perang yang baik. Namun, ada perbedaan yang sangat mendasar antara sekolah dan perang.
Siswa dalam menyesuaikan diri dengan perasaan takut akan berakibat buruk dan menghancurkan kemampuan mereka. Sedangkan prajurit yang ketakutan dapat menjadi penyerang yang terbaik, namun pelajar yang ketakutan akan selalu menjadi siswa yang bodoh.

Belajar Yang Sesungguhnya
Kegiatan seperti mencari kosakata, menghafal sebuah puisi, mengopersikan komputer dan aktifitas-aktifitas lainnya termasuk dalam kegiatan belajar. Kegiatan belajar dapat dilakukan dimana saja baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan belajar tidak selalu berarti senyatanya sungguh-sungguh belajar (real learning.
Real learning atau belajar yang sesungguhnya berhubungan dengan perbedaan antara "apakah yang diharapkan dapat diketahui oleh anak" dengan apakah yang sebenarnya mereka ketahui".
John Holt (1981) mengatakan dalam bukunya How Children Pail: 'What seem simple, natural and self evident to us may not seem to n child'' (yang kelihatannya sederhana, alami dan kita buktikan/yakini tidak selalu sama dengan apa yang dilihat oleh anak). John Holt memberi contoh tentang pemahaman angka 10. Orang dewasa telah terbiasa dengan angka 10 sehingga tidak pernah membayangkan perbedaan angka 1 (satu) dengan 0 (nol) untuk bilangan sesuatu, apakah lebih besar atau sama. Kita harus akui, kesulitan guru terjadi pada saat pertama mengenalkan angka kepada anak-anak, agar mereka tidak merasa mendapatkan teka-teki yang tidak jelas. Dikhawatirkan, pada saat pertama kali mengenalkan angka 10, anak-anak akan kaget sehingga mereka tidak pernah memahami atau akan membekukan penalarannya waktu memikirkan hal tersebut.
Seorang guru bahasa Inggris di SLTP harus sangat bijak dalam mengajarkan Countable and Uncountable Nouns. Siswa berpikir bahwa benda yang countable adalah benda yang dapat diberi bilangan satau, dua seterusnya. Dalam otak siswa tidak pernah atau tidak terbiasa memikirkan perbedaan Countable dan Uncountable Nouns, karena tidak dikenal dalam bahasa Indonesia.
Orang dewasa sering tidak mengetahui apakah yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh anak. Jika anak tidak dapat memahami hal yang sangat umum, hal itu dimungkinkan karena bahasa yang digunakan sulit dipahaminya, atau paling tidak disebabkan adanya kontradiksi antara kebiasaan yang mereka alami dengan yang kita bicarakan. Kita tidak dapat mengatakan anak itu bodoh bila ia tidak dengan cepat memahami ide kita ketika diminta membagi angka 6 dengan 1/2. Contoh : siswa yang memahami definisi pembagian akan menjawab dengan benar yaitu 12. Namun, bagi siswa yang merasa telah ahli dalam perkalian pecahan yang dipelajarinya dalam beberapa hari sebelumnya akan mengartikan pembagian dengan definisi yang berbeda. Kalau membagi 6 kedalam tengahan, beberapa besar tiap-tiap tengahan, sehingga mereka berfikir berapa separuh dari 6, maka jawabannya adalah 3. Disini guru memnemukan kesulitan, karena tidak menjelaskan perbedaan definisi pembagian, sehingga definisi kedua ini tidak dapat diterapkan pada kasus tersebut.
Penjelasan yang keliru oleh guru akan menyebabkan salah pengertian siswa. Oleh karena itu, sebaiknya menanyakan masuk akal atau tidak atau dapat dipahami atau tidak daripada menanyakan salah atau benar.

Kesimpulan dan Saran
Setelah diketahui tentang Ochikobore yang terjadi, masalah tersebut harus dipecahkan dan diatasi. Sungguhpun ochikobore bukan semata-mata merupakan produk guru, namun guru tidak boleh mengelak dari tanggung jawabnya.
Banyak siswa gagal dalam belajar karena mereka tidak dapat menangkap bahasa guru. Selain itu, seringkali kemampuan siswa di sekolah tidak terlihat karena mereka merasa takut. Hal ini menyebabkan guru keliru dalam menilai kemampuan siswa. Adanya perasaan takut yang mempengaruhi, menyebabkan siswa menggunakan berbagai strategi dalam belajar untuk menjaga diri agar tidak dimarahi guru. Guru sering meremehkan kemampuan dan kreativitas siswa dengan memerintahkan mereka berbuat sesuatu atas inisiatif guru. Guru menciptakan kekhawatiran bagi siswa, khawatir membuat kesalahan, tidak memnuhi harapan orang lain atau teman, tidak dapat menggembirakan, gagal, dan menjadi salah.
Berbagai strategi belajar sering digunakan oleh siswa dalam rangka membela diri karena sebanrnya mereka dalam kondisi takut. Mereka takut kena marah guru, takut diolok-olok teman dan takut mendapat nilai jelek. Untuk mengurangi kegagalan siswa atau Ochikobore,guru diharapkan lebih memberikan perhatian pada strategi siswa dalam belajar disamping berupaya memabntu menghilangkan berbagai rasa takut yang ada pada siswa dengan memberikan kebebasan dalam belajar. Guru diharapkan lebih memahami kemampuan siswa yang sesungguhnya sehingga mampu menyusun program yang sesuai untuk langkah pembelajaran selanjutnya.
Seharusnya sekolah menjadi tempat dimana anak-anak mempelajari apa yang sesungguhnya ingin mereka ketahui dan bukan apa yang harus mereka ketahui. Seorang anak yang ingin mengetahui sesuatu akan selalu mengingat dan menggunakannya sekaligus. Sebaliknya, anak yang belajar untuk menyenangkan atau melakukan sesuatu atas perintah orang lain, akan segera lupa sewaktu keperluan tersebut telah lewat.
Untuk menghilangkan atau mengurangi ras takut siswa, peran guru harus diubah. Diamna yang selama ini lebih selaku instruktor menjadi fasilitator. Tugas guru adalah membantu anak dalam belajar. Perbedaan-perbedaan individu pantas untuk mendapat perhatian. Hal-hal ini sulit dilakukan bila jumlah siswa di dalam suatu kelas terlalu banyak. Disarankan agar standar jumlah siswa di kelas disesuaikan dengan kemampuan kontrol guru agar "output" dari sekolah mencapai kualitas yang memadai. Prinsip persamaan hak (equality) dalam pendidikan sudah waktunya ditingkatkan dari pemerataan kesempatan belajar ke arah pemerataan kualitas belajar.
Daftar Kepustakaan
Holt, John. 1981. Hoiv Children Fail. Pipman Publishing Coorporation.
Holt, John. 1980. Hoiv Children Learn. Pipman Publishing Coorporation.
Sukardi, Edy dan Suyatno (Ed.) 2005 Refleksi Satu Abad Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta: Uhamka Press.
Munandar, Utami, S.C. 1995. Beberapa Gagasan Mengenai Reorientasi Pendidikan di Indonesia. Dalam Reorientasi ilmuPendidikan di Indonesia. Mochtar Buchori dan Sugeng Riadi (Ed.) Jakarta. IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Flag Counter
?